AL-HABIB
ALI BIN MUHAMMAD AL-HABSYI
Ibunya adalah seorang sayyidah shalihah, arifah billah, dan da’iyah ilallah,
Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri. Beliau berasal dari kota
Syibam. Sementara ayahku adalah seorang yang gemar berdakwah di kalangan pria
maupun wanita.
Ketika mendengar ihwal ibuku, ayahku ingin
memperistri dan membawanya ke kota kediamannya. Saat itu beliau masih tinggal
di Taribah. la kemudian meminta tolong dua orang Arif billah, Umar bin Muhammad
Bin Smith dan Ahmad bin Umar bin Zain Bin Smith untuk meminang ibuku.
Kedua sayyid itu lalu menemui kakekku, yang
shalih, Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri. Keduanya menceritakan maksud
kedatangan mereka dan menjelaskan bahwa ayahku adalah seorang ahli dakwah. Mereka
berdua menganjurkan agar beliau menerima lamaran ayahku.
Kakekku lalu menerima lamaran ayahku. Beliau
sama sekali tidak menanyakan keadaan keuangan ayahku.
Masa Kecil sampai Usia Dewasa
Aku lahir di Desa Qasam, suatu desa yang
dinisbahkan kepada Sayyidina Ali bin Alwi Khali’ Qasam (w. 529 H/1135 M),
semoga Allah memberi kita manfaat dengannya. Desa yang penuh dengan cahaya. Di
desa ini Habib Ali bin Alwi bercocok tanam.
Beberapa salaf kita juga sering berkunjung ke
desa ini, mereka membangun masjid dan rumah di sana. Di antaranya, Sayyidina
Al-Arif Al-Quthb Asy-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Assegaf. Di desa ini
beliau membangun sebuah masjid yang besar. Beberapa tokoh Alawiyyin yang lain
juga melakukan hal yang sama.
Aku lahir di desa itu pada hari Jum’at, 24 Syawwal 1259
H/1843 M.
(Ketika Habib Ali berusia tujuh tahun, yakni pada tahun
1226 H/1850, Habib Muhammad, yaitu ayah Habib Ali, hijrah ke Makkah, bersama
tiga saudara Habib Ali yang telah dewasa: Abdullah, Ahmad, dan Husein. Habib
Muhammad menyerahkan sang putra, Habib Ali, di bawah asuhan ibunya, yang tetap
tinggal di Qasam. Kemudian Habib Ali bersama ibunya pindah ke Seiwun pada usia
sebelas tahun. Dalam perjalanan ke Seiwun, ia melewati Masilah dan singgah di
rumah Allamah Sayyid Abdullah bin Husein Bin Thahir. la menggunakan kesempatan
itu untuk menelaah kitab, mengambil ijazah, dan ilbas).
Ibuku dahulu mendoakan aku, “Ali, semoga Allah
meninggikan kedudukanmu di dunia dan akhirat.”
Beliau sering mengulang-ulang doa ini sampai
Allah mengabulkannya dan meninggikan kedudukanku di dunia, dan aku berharap Dia
akan meninggikan kedudukanku pula di akhirat. Masyarakat senang menyebut
namaku. Orang-orang yang tidak kukenal datang dari tempat-tempat yang jauh
hanya untuk memandangku.
Aku membaca kehidupan orang-orang shalih
dalam buku-buku salaf, meneliti maqam mereka, dan melihat kelemahanku. Lalu
kukatakan kepada ibuku, “Bu, katakanlah, ”Ya Allah, berilah anakku Ali maqam
Fulan dan maqam Fulan.”
Beliau berdoa dan aku mengamini. Doa kedua
orangtua akan dikabulkan oleh Allah. Dan ibuku adalah seorang yang shalihah.
Qubah Makam Al-Habib Ali Al-Habsyi
Suatu hari ayahku mengirim sepucuk surat kepadaku dari
Makkah. Di dalamnya beliau menulis: Pergilah ke Makkah, kau tak kuizinkan
tinggal di Hadhramaut.
Aku segera memberi tahu ibuku. “Kita tidak bisa menentang
kehendak ayahmu,” kata ibuku.
Sebenarnya ibuku tidak sanggup berpisah denganku, aku pun
merasa berat untuk berpisah dengannya. Jika teringat perjalanan yang harus
kulakukan ini, kami menangis.
Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan waktu
keberangkatanku semakin dekat. Pada saat keberangkatan, ibuku berpesan kepada
Ahmad Ali Makarim, ”Tolong perhatikan Ali, ia belum pernah melakukan
perjalanan jauh.”
Baik,” jawabnya. Kami kemudian berangkat meninggalkan
Seiwun menuju Makkah.
Di tengah perjalanan kami singgah di Syihr. Setiap hari,
aku makan siang dan malam hanya berlaukkan sepotong ikan yang kubeli dengan
uang satu umsut.
Dari Syihr, aku pergi ke Jeddah, ke mudian ke Makkah, ke
tempat ayahku. Beliau sangat senang dengan kedatanganku.
(Beberapa lamanya Habib Ali tinggal di Makkah bersama
ayahnya dan menimba ilmu kepada sang ayah, yang tak lain adalah mufti
Syafi’iyyah di Masjidil Haram. Suatu hari sang ayah mengutusnya menemani Habib
Alwi Assegaf, yang hen- dak dinikahkannya dengan Syarifah Aminah, saudara
perempuan Habib Ali, ke Hadhramaut. Setelah selama dua sampai tiga bulan
tinggal di Seiwun, Habib Alwi kembali ke Makkah bersama istrinya, sedangkan
Habib Ali tetap tinggal di Seiwun).
Aku dan ibuku kemudian pergi ke Qasam. Di sana aku
menikah dengan ibu Abdullah (putra tertua Habib Ali). Pernikahan kami
berlangsung sangat sederhana. Penduduk Qasam adalah orang-orang yang cinta
kebaikan. Setiap tamu undangan memberi kami dua mud gandum. Kami memotong
seekor kambing untuk jamuan makan di malam pernikahan.
Hormat dan Ta’zhim kepada Guru
Ketika Habib Abubakar bin Abdullah Al-Aththas datang ke
Seiwun bertamu di rumah Ammi (Pamanda) Muhammad bin Ali Assegaf, aku pergi
untuk menemuinya.
Kuketuk pintu rumah Ammi Muhammad. Habib Abubakar
bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
“Biarkan saja ia di depan rumah, jangan kau bukakan
pintu!” kata Habib Abubakar kepada Ammi Muhammad.
Aku mendengar suara Habib Abubakar, lalu aku duduk dan
teringat cerita Habib Ali bin Abdullah ketika hendak menemui syaikhnya, Habib
Ali bin Abdullah Alaydrus. la tidak dibukakan pintu, dan dibiarkan di depan
rumah. la bahkan diguyur kepalanya dengan air bekas cucian tangan setelah
makan. Namun perlakuan ini tidak mengusiknya, ia tetap duduk di depan rumah
sampai dibukakan pintu.
Beberapa saat kemudian Ammi Muhammad melongok ke bawah
dan melihatku tetap duduk menunggu. ia bertanya kepada Habib Abubakar, “Kita
bukakan pintu?”
“Jangan!” jawab Habib Abubakar. Aku bersabar menunggu
sampai kemudian Habib Abubakar berkata kepada Ammi Muhammad, “Katakan kepadanya
agar menemuiku di rumah Abdul Qadir bin Hasan bin Umar bin Saggaf, katakan
bahwa aku hendak pergi ke sana,” kata Habib Abubakar.
Aku lalu pergi ke sana dan bertemu Habib Abubakar. la
menyingkap isi hatiku, “Ketahuilah, kau seperti Habib Ali bin Abdullah, bahkan
lebih besar.”
Habib Abubakar berkata kepadaku, “Syarat pertama yang
kutujukan kepadamu adalah bahwa kau harus terus mengajarkan ilmu zhahir, dan
tidak boleh menyibukkan diri dalam ilmu bathin.”
Aku menjalankan perintah, yakni selalu mengajarkan ilmu
zhahir dan tidak pernah menyibukkan diri dalam ilmu bathin, karena perintah
Habib Abubakar.
Suatu ketika Habib Abubakar datang ke Seiwun di waktu
malam, dan aku tidak tahu. Sewaktu tidur aku mendengar suara, “Bagaimana kau
bisa tidur, padahal syaikhmu datang ke kota ini?” Suara itu diulang sepuluh
kali sehingga aku terbangun.
Keesokan harinya aku bertanya tentang Habib Abubakar dan
mendapati beliau di Masjid Thaha. Masjid telah penuh dengan habaib, di
antaranya adalah Ammi Muhsin bin Alwi, Ammi Muhammad bin Ali, dan Iain-Iain.
Namun demikian, aku tidak melihat seorang pun kecuali Habib Abubakar, karena
luapan rasa cintaku.
Sejak saat itu pintu hubunganku dengan beliau mulai
terbuka. Sewaktu aku menjabat dan mencium tangan beliau, beliau berkata,
“Selamat datang, Al-Habsyi kami.”
Aku berhubungan dengan Habib Abubakar dan beliau
memperlakukan aku dengan akhlaq yang sangat luhur. Beliau mencurahkan segenap
ilmunya, walau pertemuanku dengan beliau hanya berlangsung kurang lebih empat
kali. Namun satu detik bersama beliau lebih dari cukup.
(Habib Ali juga sering pergi ke Tarim untuk menuntut ilmu
dari orang-orang alim di sana. Di sana ia bertemu Sayyid Abdullah bin Husein
bin Muhammad, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Al-Allamah Umar bin Hasan Al-Haddad,
dan ulama besar sezamannya yang lain, seperti Al-Allamah Abdurrahman bin
Muhammad Al-Masyhur, Habib Ali bin Idrus Bin Syihab dan Imam Umar bin
Abdurrahman Bin Syihab. Penduduk Tarim dan yang lainnya menyambutnya karena
mereka melihat tanda kebaikan pada dirinya. Habib Ali juga menuntut ilmu dari
ulama di zamannya, seperti Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar, imam para
sayyid yang mulia, Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al-Bar, Imam Idrus bin
Umar bin Idrus Al-Habsyi, dan yang lainnya).
Ribath dan Masjid Ar-Riyadh
Selama tiga puluh tahun aku tinggal di daerah ini (kota
Qasam), di Masjid Hambal. Siang dan malam Masjid Hambal makmur dengan
dzikirtilawatul Qur’an dan pengajian. Para tetangga masjid ini banyakyang
menjadi pengusaha, namun mereka semua orang yang gemar beribadah. Mereka
melaksanakan berbagai ke- bajikan, membaca Al-Qur’an, dan shalat di akhir
malam.
Ketika aku mengajar di Masjid Hambal, yang menghadiri
majelisku sekitar 400 orang. Sewaktu aku masih menjadi imam di Masjid Hambal,
masjid itu penuh dengan kebajikan. Orang beribadah d situ, menuntut ilmu di
situ, dan mendapatkan makanan lezat di situ.
Setiap shalat Tarawih, aku membaca sepuluh juz, setiap
rakaat delapan muqra’. Sedangkan malam Jum’at, dari sahur hingga fajar
kugunakan untuk membaca Dalail.
(Ketika Habib Ali berusia 37 tahun, ia membangun ribath
yang pertama di Hadhramaut, yaitu di kota Seiwun, untuk para penuntut ilmu dari
dalam dan luar kota. Biaya orang-orang yang tinggal di ribath itu ia tanggung
sendiri. Di samping itu ada juga beberapa wakaf yang digunakan untuk membiayai
keperluan mereka).
Para penghuni ribath adalah orang-orang baik yang
kebanyakan berasal dari luar kota. Siang dan malam mereka lewatkan dalam
ketaatan: ada yang membaca Al-Qur’an, mengajar, menghafal, dan ada yang
mengulang pelajarannya. Kita wajib melayani mereka siang dan malam.
Alhamdulillah, semenjak selesai dibangun, ribath ini selalu
makmur. Setiap kali mereka menyelesaikan pelajaran, setiap kali pula datang
orang lain yang menuntut ilmu. Syaikh Muhammad Bathweih, semoga Allah
memberkatinya, selalu berada di ribath, ia “meninggalkan” keluarganya untuk
mengajar di ribath. Semenjak kedatangannya di ribath, ia selalu menyibukkan
diri dengan ilmu. Semua guru yang sekarang mengajar di Seiwun adalah
pelajar-pelajar yang dulu telah selesai belajar kepadanya. Beliau mengajar dan
memperhatikan mereka. Beliau adalah seorang yang benar-benar alim.
Ketika aku melewati ribath, terdengar gemuruh suara orang
yang sedang membaca Al-Qur’an, berdzikir, belajar, dan berceramah. Aku
mengucapkan puji syukur kepada Allah, yang telah menyenangkan hatiku dengan
mewujudkan niatku mendirikan ribath. Ribath ini kudirikan dengan niat-niat yang
baik, dan ribath ini menyimpan rahasia (sirr) yang besar, menyadarkan mereka
yang lalai, dan membangunkan mereka yang tertidur.
Betapa banyak faqih yang telah dihasilkannya, betapa
banyak orang alim yang telah diluluskannya. Ribath Ini mengubah orang yang
tidak mengerti apa-apa menjadi orang yang alim.
(Ketika Habib Ali berusia 44 tahun, ia membangun masjid
yang kemudian dl namai “Masjid Ar-Riyadh”. Berikut syi’ir Habib Ali tentang
Masjid Ar-Riyadh yang ia gubah pada bulan Syawwal 1305 H/ 1888 M)
Inilah Riyadh,
ini pula sungai-sungainya yang mengalir
Yang memakmurkan mereguk segar airnya
Yang bermukim tercapai tujuannya
Yang berkunjung terkabul keinginannyn Masjid ini dibangun
di atas tujuan yang shahih
Maka terlihatlah tanda-tanda keberhasilannya
Maulid Simthud Durar
(Ketika usia Habib Ali menginjak 68 tahun, ia menulis
kitab Maulid yang diberi nya nama Simthud Durar. Maulid
ini kemudian mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadhramaut dan
tempat tempat lain yang jauh, hingga sampai pula ke Nusantara).
Maulid Simthud Durar
Dakwahku akan tersebar ke seluruh wujud. Maulidku ini
akan tersebar ke tengah-tengah masyarakat, akan mengumpulkan mereka kepada
Allah, dan akan membuat mereka dicintai Nabi SAW.
Jika seseorang menjadikan kitab Maulid-ku ini sebagai
salah satu wiridnya atau menghafalnya, rahasia (sirr) Al Habib SAW akan tampak
pada dirinya.
Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap
kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan
Nabi SAW
Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat.
Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW. Bahkan dalam surat-suratku, ketika
aku menyifatkan Nabi SAW, Allah membukakan kepadaku susunan bahasa yang tidak
ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku.
Dalam surat-menyuratku ada beberapa sifat agung Nabi
SAW. Andaikan Nabhani (Syaikh Yusuf bin Ismail An- Nabhani, seorang alim besar
dari Iskandaria yang produktif dalam menulis kitab dan hidup semasa dengan
Habib Ali) membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat
agung itu.
Munculnya Maulid Simthud Durar di zaman ini akan menyempu
makan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, tidak sedikit
pemberian Allah kepada orang-orang terdahulu yang tidak dapat diraih oleh
orang-orang zaman akhir. Tapi setelah Maulid ini datang, ia akan
menyempurnakan apa yang telah terlewatkan. Dan Nabi SAW sangat menyukai Maulid
ini.
Kesendirianku bersama Tuhanku
Makam Beliau
Alhamdulillah, sejak kecil aku tidak pernah
memperturutkan hawa nafsuku. Kadangkala orang yang mendengar ucapan mereka yang
memusuhiku datang menemuiku dan berkata, “Doakanlah mereka dengan keburukan.”
Aku jawab, ”Tidak!” Aku bahkan mendoakan agar Allah memberi
hidayah kepada mereka dan memperbaiki kesalahan mereka. Dan, alhamdulillah,
maqam ini telah kupegang selama lima puluh tahun, dan setiap tahun selalu
meningkat.
Ini merupakan karunia Allah SWT. Aku tidak memintanya,
baik dengan hati maupun lisan, akan tetapi Allah SWT telah bermurah kepadaku.
Sesungguhnya aku tidak menyukai sambutan-sambutan dan
kerumunan orang yang ada di sekitarku. Yang kusukai adalah kesendirianku
bersama Tuhanku.
(Zhuhur, hari Ahad, 20 Rabi’ul Akhir 1333 H/1915 M, Habib
Ali bin Muhammad Al-Habsyi wafat. Waktu ashar keesokan harinya, jenazahnya
diantar ke makam dalam suatu iring-iringan yang, karena begitu banyak dihadiri
oleh manusia, digambarkan dengan tidak ada awal dan akhirnya. Jenazah Habib Ali
kemudian dikebumikan di sebelah barat Masjid Ar-Riyadh)
Sumber: dari Majalah Alkisah No. 06/2011 yang diisarikan
dari buku Biografi Habib Ali Habsyi Muallif Simtud Durar*
0 komentar:
Posting Komentar