BID’AH TERBAGI DUA BAGIAN
1. Al-Imam Al-Syafi’i
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i - mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di dunia Islam -, berkata:
الْمُحْدَثَاتُ
مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا
يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ
اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ
لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara
baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang
dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang
mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat.
Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an,
Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab
Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا
وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah
ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang
sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi
Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari)
Pembagian
bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama
setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli
hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka
adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam,
an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan
lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi
al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi,
al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa
sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
2. Al-Imam al-Hafizh Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi
Ketika
mengomentara pendapat al-Imam asy-Syafi’i, al-Qurthubi berkata:
“Menanggapi ucapan ini (ucapan asy-Syafi’i tentang pembagian bid’ah),
saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi ‘Seburuk-buruk
perkara adalah hal yg baru, semua hal yang baru adalah Bid’ah, dan semua
Bid’ah adalah sesat’ bermaksud hal-hal yang tidak sejalan dengan
al-Qur’an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul.
Sesungguhnya
hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu “Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan
pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari
pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam,
maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”. Hadits ini
merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah yang
baik dan Bid’ah yang sesat”.[ Tafsir al-Imam al-Qurthubi, II : 87.]
3. Al-Imam Ibn Abdilbarr.
Al-Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-Namiri Al-Andalusi, hafizh dan faqih bermadzhab Maliki. Beliau membagi bid’ah menjadi dua. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan pernyataan beliau:
وَأَماَّ
قَوْلُ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فِيْ لِسَانِ الْعَرَبِ اِخْتِرَاعُ
مَا لَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ
خِلاَفاً لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ
بِدْعَةٌ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا
وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ
لَهُ سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ
الشَّرِيْعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ.
“Adapun
perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab
adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka
apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku,
maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya,
menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas
keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat
dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-Istidzkar, 5/152).
4. Al-Imam Al-Nawawi.
Al-Imam Al-Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat (3/22), beliau mengatakan:
هِيَ أَيِ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى حَسَنَةٍ وَقَبِيْحَةٍ.
“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”.
5. Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari.
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari, pakar hadits dan bahasa, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian; bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Dalam kitabnya, Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةُ هُدًى وَبِدْعَةُ ضَلاَلٍ فَمَا كَانَ فِيْ خِلاَفِ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ وَرَسُوْلِهِ فَهُوَ
مِنْ حَيْزِ الذَّمِّ وَاْلإِنْكَارِ وَمَا كَانَ وَاقِعًا تَحْتَ
عُمُوْمٍ مِمَّا نَدَبَ اللهُ إِلَيْهِ وَحَضَّ عَلَيْهِ اللهُ
وَرَسُوْلُهُ فَهُوَ فِيْ حَيْزِ
الْمَدْحِ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثَالٌ مَوْجُوْدٌ كَنَوْعٍ مِنَ
الْجُوْدِ وَالسَّخَاءِ وَفِعْلِ الْمَعْرُوْفِ فَهُوَ فِي اْلأَفْعَالِ
الْمَحْمُوْدَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِيْ خِلاَفِ مَا
وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ
“Bid’ah
ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal
(sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah,
tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Dan bid’ah yang berada di bawah
naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka
tergolong bid’ah terpuji. Sedangkan bid’ah yang belum pernah memiliki
kesamaan seperti semacam kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka
tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut
menyalahi syara’.”
6. Al-Hafizh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki.
Al-Imam Al-Qadhi Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki, seorang hafizh, mufassir dan faqih madzhab Maliki, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian. Dalam kitabnya ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Jami’ Al-Tirmidzi, X : 146-147., beliau berkata:
“Ketahuilah
bahawa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara
baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan
mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua,
perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah
disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para
Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela.
Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru.
Allah SWT berfirman:
مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلاَّ اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ
“Tidak
datang kepada mereka suatu ayat al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari
Tuhan mereka, melainkan mereka men-dengarnya, sedang mereka
bermain-main” (QS. al-Anbiya`: 2).
Dan
perkataan Sayyidina `Umar RA: “Alangkah bagusnya bid‘ah ini!”
Kesimpulannya, Bid‘ah tercela hanyalah perkara baru yang bertentangan
dengan Sunnah, atau perkara baru yang diadakan dan membawa kita pada
kesesatan.”
7. Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali.
Ketika
mengulas masalah penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an,
al-Imam al-Ghazali berkata: “Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang
diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara
baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia
adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang
sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang
dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu. [Al-Ghazzali, “Ihya’ `Ulumiddin, I : 276.]
8. Al-Imam Al-‘Aini.
Al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, hafizh dan faqih bermadzhab Hanafi membagi bid’ah menjadi dua bagian. Beliau mengatakan:
وَالْبِدْعَةُ
فِي اْلأَصْلِ إِحْدَاثُ أَمْرٍ لَمْ يَكُنْ فِيْ زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ
ثُمَّ الْبِدْعَةُ عَلَى نَوْعَيْنِ إِنْ كَانَتْ مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ
مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ
مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ بِدْعَةٌ
مُسْتَقْبَحَةٌ
“Bid’ah
pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa
Rasulullah. Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dalam
naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’, maka disebut bid’ah
hasanah. Dan apabila masuk di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk
oleh syara’, maka disebut bid’ah tercela.” (‘Umdat Al-Qari, 11/126).
9. ar-Rabi`
ar-Rabi`juga
meriwayatkan dari al-Imam asy-Shafi`i bahwa beliau berkata: “Perkara
baharu yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang
bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’,
maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua,
perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min
al-khair) yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini
bukan bid‘ah dicela (wa hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).[
Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan
“Manaqib asy-Syafi`i, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga
oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Dar’u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171
dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari,
hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, VIII : 408, Ibnu
Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath
al-Bari, XIII : 253.]
10. Ibnu Hazm az-Zahiri
Ibn
Hazm al-Zahiri berkata: “Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang
datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadits
Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai
pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah
baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan
oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut
tidak ddijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang
baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang
melarangnya. [Ibnu Hazm, “al-Ihkam fi Usul al-Ahkam”, I : 47.]
BID’AH TERBAGI LIMA BAGIAN
1. Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Bahkan
Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam membagi bid’ah menjadi lima bagian.
Dalam pandangan beliau bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian; bid’ah wajibah, bid’ah mandubah (sunnat), bid’ah mubahah, bid’ah makruhah dan bid’ah muharramah (haram). Dalam hal ini beliau mengatakan:
اْلبِدْعَةُ
فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ الله وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ
إِلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ
مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ،
وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى
قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ
فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ
مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ
مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ
مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ:
أَحَدُهَا:
اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ
وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ وَذَلِكَ وَاجِبٌ لأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ
وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ
يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
الْمِثالُ الثاَّنِيْ: الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ.
وَلِلْبِدَعِ
الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا
مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا
مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلىَ هَؤُلاَءِ مِنْ البِدَعِ
الوَاجِبَةِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا:
إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ
إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ
التَّرَاوِيْحِ..
وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ.
وَلِلْبِدَعِ
الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ
الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ
الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامَ.."أ.هـ
“Bid’ah
adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada
masa Rasulullah . Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah
muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Dan
jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada
kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka
menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah
muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan
apabila masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah mubahah.
Bid’ah
wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu
nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah . Hal ini
hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat
menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi
sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara
dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang
lemah.
Bid’ah
muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran
orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan
menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib
Bid’ah
mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan
sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang pernah dikenal pada abad
pertama, dan di antaranya shalat tarawih.
Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
Bid’ah
mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan
minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah,
memakai baju kebesaran dan lain-lain.” (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih
Al-Anam, 2/133)
Pandangan
Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi lima
bagian dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas
ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.
2. Ibn Hajar Al-‘Asqalani.
Al-Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani, hafizh dan faqih bermadzhab Syafi’i. Beliau membagi bid’ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Fath Al-Bari, beliau mengatakan:
وَالْبِدْعَةُ
أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي
الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ
مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا
تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى
اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ.
“Secara
bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah,
sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk
dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut
bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk
menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila
tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh).
Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” Fath Al-Bari, 4/253).
3. Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam
al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata:
Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada
pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”
Beliau
melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya
sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di
akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada
perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat),
makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu
Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia
masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia
termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal
yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia
termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya.
Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.” [An-Nawawi, “Tahdzib al-Asma’
wal-Lughat”, III : 20-22.]
4. Al-Imam Al-Shan’ani.
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Shan’ani, muhaddits dan faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bid’ah menjadi lima. Dalam kitabnya Subul Al-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ
لُغَةً: مَا عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا
هُنَا: مَا عُمِلَ مِنْ دُوْنِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌ مِنْ
كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَقَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ عَلَى
خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: وَاجِبَةٍ كَحِفْظِ الْعُلُوْمِ بِالتَّدْوِيْنِ
وَالرَّدِّ عَلىَ الْمَلاَحِدَةِ بِإِقَامَةِ اْلأَدِلَّةِ، وَمَنْدُوْبَةٍ
كَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ، وَمُبَاحَةٍ كَالتَّوْسِعَةِ فِيْ أَلْوَانِ
الطَّعَامِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ، وَمُحَرَّمَةٍ وَمَكْرُوْهَةٍ وَهُمَا
ظَاهِرَانِ؛ فَقَوْلُهُ: «كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ» عَامٌّ مَخْصُوْصٌ
“Bid’ah
menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Dan ulama
telah membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti
memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap
kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah
mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid’ah mubahah seperti
menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4) bid’ah
muharramah dan 5) bid’ah makruhah, dan keduanya sudah jelas
contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata
umum yang dibatasi jangkauannya.” (Subul Al-Salam, 2/48).
KESIMPULAN:
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa para ulama terkemuka
dalam setiap kurun waktu mulai dari Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Abdilbarr,
Ibn Al-‘Arabi, Ibn Al-Atsir, Izzuddin bin Abdissalam, Al-Nawawi,
Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-‘Aini, Al-Shan’ani, dan masih banyak ulama-ulama
lain yang tidak dikutip di sini, membagi bid’ah menjadi dua bagian,
yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Dan bahkan
lebih rinci lagi, bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima bagian sesuai
dengan jumlah hukum-hukum yang berlaku dalam agama.
Demikianlah
pendapat para imam besar yang telah terekam dalam berbagai kitab turats
(klasik). Masih banyak lagi yang tidak sempat terekam pendapatnya,
karena memang ketika itu penulisan kitab tidak semudah sekarang.
Setidaknya, ketika mereka diam berarti mereka setuju, karena kalau
memang mereka menganggap pendapat asy-Syafi’i sebagai kesesatan, maka
tidaklah mungkin mereka diam saja tanpa menulis buku kritikan. Pendapat
asy-Syafi’i diterima oleh ulama di zaman beliau hingga ulama berikutnya.
Barulah pada abad akhir ini muncul segolongan ulama yang menyalahkan
pendapat para Imam besar hujatul-Islam tersebut, bahkan berani
menganggap pendapat mereka sesat.
Saudaraku,
Ketika kita sama-sama berguru dan berpendapat menurut guru, maka
bersyukurlah karena kita berguru pada Imam-imam besar seperti
asy-Syafi’i sang perintis madzhab, an-Nawawi sang ahli Hadits penulis
Syarah Shahih Muslim, al-Ghazali sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin,
al-Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits, as-Suyuthi sang pakar berbagai
disipliln Ilmu Islam, al-Asqalani sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih
al-Bukhari, al-Qurthubi sang pakar dan penulis kitab Tafsir,
al-Qusthallani sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al-Bukhari dan
sebagainya.
Kalau guru-guru kita itu dianggap sesat. Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam. Mereka
yang dianggap sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran
dan karya-karya mereka. Coba kita tanyakan pada hati kita, seandainya
kita harus memilih, siapa yang sebaiknya tidak pernah hidup di dunia
ini, apakah asy-Syafi’i dan sebagainya atau ulama abad ini yang
menganggap asy-Syafi’i sesat? Apa yang kita miliki kalau kita mencoret
nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak buku kita.
Apa
yang tersisa dari khazanah keilmuan Islam kalau kita membuang
kitab-kitab asy-Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’
Ulumiddin, Fathul Bari, Irsyadussari, Syarah Muwattha’ (az-Zarqani),
Syarhul-Misykah dan sebagainya. Kalau mereka dianggap sesat dan
karya-karya mereka dicekal, maka yang tersisa dari kekayaan umat Islam
adalah ulama pencaci maki dan buku-buku yang dipenuhi dengan mengupat
ulama salaf.”
0 komentar:
Posting Komentar